Perjalanan melongok salah satu asset wisata alam di wilayah Kabupaten Ciamis yang terletak di Kecamatan Cisaga, yaitu Curug Panganten nyaris tak menemui hambatan. Disamping kondisi jalan yang lumayan baik juga dilengkapi dengan beberapa papan penunjuk arah dibeberapa persimpangan jalan. Jikapun hal itu masih dianggap membingungkan, maka masyarakat setempat, terutama tukang ojeg yang biasa mangkal di persimpangan jalan Raya Banjar-Ciamis akan dengan sukarela menunjukannya bahkan mengantarkannya.  Diperkirakan jarak Curug Panganten  dari jalan raya sekitar 400 m, jalan masuknya tepat berada di sisi Jembatan Sungai Citanduy yang terletak di kawasan Wisata Sejarah Karangkamulyan.  

Namun akses jalan kendaraan menuju Curug Panganten harus terhenti pada jarak 50 meter. Selanjutnya, disambung dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Saat Priangan menyambangi tempat ini, keadaan debit airnya tengah turun. Namun walau musim kemarau entak-entakan, ternyata limpahan airnya masih cukup banyak, sehingga tidak mengurangi keindahan alam yang melingkupinya. Suara gemuruhnya masih keras terdengar berpadu dengan jatuhan air yang berederai dari tebing setinggi 50 meter. bahkan akibat musim kemarau ini, kondisi airnya menjadi jernih serta memantulkan warna hijau kebiru-biruan, berbalik saat musim penghujan, airnya menjadi keruh kecoklat-coklatan. Disamping itu akibat surutnya air mengakibatkan beberapa tempat yang biasanya tergenangi berubah menjadi daratan yang dapat dijelajahi.
              Sungguh luar biasa panorama alam perawan yang terpampang di depan mata. Kendati tempat ini kerap dikunjungi para pelancong, ternyata belum tersentuh pembangunan  sebagaimana layaknya sebuah tempat wisata. Mungkin kondisinya yang masih asli ini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi pelancong yang berkunjung.
            Curug Panganten dapat dikatakan merupakan sambungan dari dua sungai yang mengalirinya. Di bagian atasnya adalah batas akhir sungai Cirende dan bagian bawahnya adalah hulu dari sungai Ciliung.  Bahkan batang akhir sungai Cirende sendiri ternyata tersusun dari tiga tangga curug, yaitu Curug Cirende, Curug Sewu dan terakhir Curug Panganten. Curug Cirende dan Curug Sewu tidak dapat dilihat langsung dari bawah, karena disamping ketinggiannya rendah, juga terhalang oleh tebing tinggi yang menjadi limpahan air terjun Curug Panganten.
            Menurut Ujang Solikhin, salah seorang warga setempat curug tersebut dulunya disebut Curug Sewu. Namun setelah terjadi peristiwa mengenaskan yang menimpa sepasang pengantin, air terjun tersebut lebih dikenal dengan nama Curug Panganten. “ Sasakala ceuk kolot mah kieu, , ceunah baheula aya sapasang panganten nuju pelesir paparahuan dina lengkob cucurugan cai, ari si Panganten lalaki ngadon ngaheureuyan pamajiikanana ku hileud. Bakat ku sieun jeung reuwas antukna tigejebur,  lantaran harita keur badag cai, panganten awewe teh kasedot puseran cai. Ningali kitu salakina langsung ngunclungkeun maneh rek nulungan tiditu n amah. Ngan orokaya manehna kalah milu kasedot, tiwas sapasang panganten teh, malah layonna oge teu kapendak. Tah tidinya curug Sewu teh katelahna we ngaranna jadi Curug Panganten” Kata Ujang sambil menerawang.
            Keberadaan Curug Panganten memang tidak lepas dari cerita legenda yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat disekitaranya. Pun demikian dengan kewingitannya. Soal kaahengan Curug Panganten, dialami sendiri oleh Ujang Solikhin. Dua peristiwa gaib yang pernah dirasakaanya cukup membuatnya percaya bahwa Curug Panganten memiliki aura mistis yang cukup besar. Bahkan peristiwa terakhir, tidak saja menjadi pembuktian bagi dirinya sendiri, namun juga bagi masyarakat dikampungnya. Saat itu Ujang Solikhin pernah hilang tanpa jejak selama 8 jam di Curug Panganten. Sampai-sampai masyarakat yang mencarinya hampir putus asa. 
            “ Jaman teu acan lebet PLN, abdi ngamangfaatkeun Curug Panganten teh janten PLTA Cirende taun 1987,  listrikna kangge masok kaperyogian masyarakat lembur. Harita teh ba’da Isya, ngadadak listrik pareum. Nya ku abdi dipilari ka Curug Panganten. Pas marios lebah kincirna, kadangu aya nu naros. Tisaprak diwaler, anjeuna langsung we ngajak pelesir. Raraosasan mah abdi di candak ka Malaysia. Dumeh sateuacanna abdi memang gaduh cita-cita hoyong ka luar negeri.  Di Malaysia teh kitu we kukurilingan. Dugi ka anjeuna ngandeg sangkan abdi ulah mulang deui. Ngan abdi keukeuh maksa hoyong mulang kalembur. Tungtungna abdi dibelewerkeun, ari emut-emut tos aya di buruan bumi Pa Jatma, kalayan lilir bada subuh, parantos diriung ku masyarakat.” Paparnya menceritakan pengalamannya.
            Pengalaman Ujang tersebut dibenarkan oleh beberapa penduduk setempat diantaranya, Mang Otoy dan Ki Amar. Menurut keduanya, saat itu masyarakat menjadi gempar karena Ujang tidak ditemukan di Curug Panganten. Bahkan timbul dugaan bahwa Ujang telah meninggal akibat tercebur dan terseret arus Curug Panganten. Akhirnya malam itu juga pengajian diselenggarakan di rumah Ujang. Masyarakat berharap mayat Ujang segera ditemukan. Namun menjelang subuh terdengar suara berdebam di halaman Rumah Pa Jatma, setelah di periksa ternyata berasal dari tubuh Ujang Solkihin yang terlempar dalam keadaan tidak sadar. Sampai kini peristiwa gaib itu akhirnya menjadi kenangan tersendiri bagi Ujang Solikhin dan masyarakat yang mengetahui peristiwa itu.
            Kewingitan lainnya adalah misteri suara gamelan. Hal ini pun diakui oleh masyarakat setempat. Konon, di salah satu batu besar yang ada di Curug Panganten selalu terdengar nyaring suara gamelan setiap malam jumat kliwon. Bahkan anehnya lagi, bukan suaranya saja yang terdengar tapi gamelannyapun dapat dilihat. Hal ini dikisahkan oleh Ki Amar yang dipercaya sebagai kuncen Curug Panganten.
“ Kapungkur, jalmi nu peryogi gamelan kangge manggung tiasa nambut ti karuhun Curug Panganten. Buktos eta mah, ngajenggelek barangna, kantun nyandak. Ngan kedah diuihkeun deui. Hanjakal, pernah aya nu nambut, deleka teu diuihkeun deui. Antukna sora gamelan teh sababaraha puluh taun mah teu kakuping deui. Tah, basa malam jumaah kaliwon sasih mulud taun ayeuna, nembe tiasa kakuping deui. Sorana kadangu kamana-mana, utamina masyarakat nu bumina sabudeureun Curug Panganten. Mangga we teu percanten mah taroskeun kanu sanes” Ujar Ki Amar menjelaskan tentang gamelan gaib Curug Panganten.
Betul tidaknya kisah-kisah tersebut diatas, pada dasarnya menjadi salah satu daya tarik Curug Panganten. Namun sayangnya, perhatian sebagian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan Curug Panganten masih kurang. Saat Priangan berkunjung, ternyata banyak bangkai ikan yang  mengambang dalam berbagai ukuran dan jenis. Tatkala ditanyakan, ternyata masih ada kebiasaan masyarakat yang menangkap ikan dengan cara di portas. Sayang sekali.***